<1>
Read!
In the Name of ALLAH, Who has created man from a clot (a piece of thick coagulated blood).
<2>
Al-Islami
In the Name of ALLAH, Who has created man from a clot (a piece of thick coagulated blood).
<3>
Al-Islami
In the Name of ALLAH, Who has created man from a clot (a piece of thick coagulated blood).
<4>
Al-Islami
In the Name of ALLAH, Who has created man from a clot (a piece of thick coagulated blood).

Selasa, 01 Juli 2014

Keutamaan Shalat Tarawih


Menelan Ludah Apakah Puasa Batal?

# Menelan Ludah Apakah Puasa Batal?
Bagaimana Dengan Menelan Dahak?
Menelan ludah ketika berpuasa
Jawabannya menelan ludah TIDAK
Membatalkan puasa.
Hal ini katakan oleh imam An-Nawawi sebagai
ijma’ (kesepakatan ulama), beliau berkata,
ﺍﺑﺘﻼﻉ ﺍﻟﺮﻳﻖ ﻻ ﻳﻔﻄﺮ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ
“Menelan air ludah tidak membatalkan puasa
secara ijma’”[1]
Tidak bisa diipungkiri bahwa menahan diri agar
tidak menelan air ludah adalah hal yang sulit
karena terkadang manusia otomatis menelan
ludah mereka. Dan agama Islam tidaklah
diturunkan untuk memberatkan manusia.
Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻣَﺎ ﺟَﻌَﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻣِﻦْ ﺣَﺮَﺝٍ
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan.” (Al-Hajj :78)
Allah Ta’ala juga berfirman,
ﻳُﺮِﻳﺪُ ﺍﻟﻠّﻪُ ﺑِﻜُﻢُ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَ ﻭَﻻَ ﻳُﺮِﻳﺪُ ﺑِﻜُﻢُ ﺍﻟْﻌُﺴْﺮَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (AL-
Baqarah: 185)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
ﻭﻣﺎ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ ﺍﻟﺘﺤﺮﺯ ﻣﻨﻪ ﻛﺎﺑﺘﻼﻉ ﺍﻟﺮﻳﻖ ﻻ ﻳﻔﻄﺮ، ﻷﻥ
ﺍﺗﻘﺎﺀ ﺫﻟﻚ ﻳﺸﻖ
“Apa yang tidak mungkin menjaga diri darinya
misalnya menelan ludah maka tidak
membatalkan puasa, karena menjaga hal ini
bisa memberatkan”[2]
Demikian juga fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah,
ﺍﺑﺘﻼﻉ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﺭﻳﻘﻪ ﻻ ﻳﻔﺴﺪ ﺻﻮﻣﻪ ﻭﻟﻮ ﻛﺜﺮ ﺫﻟﻚ
ﻭﺗﺘﺎﺑﻊ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻭﻏﻴﺮﻩ، ﻭﻟﻜﻦ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺑﻠﻐﻤﺎ ﻏﻠﻴﻈﺎ
ﻛﺎﻟﻨﺨﺎﻋﺔ ﻓﻼ ﺗﺒﻠﻌﻪ، ﺑﻞ ﺃﺑﺼﻘﻪ ﻓﻲ ﻣﻨﺪﻳﻞ ﻭﻧﺤﻮﻩ ﺇﺫﺍ
ﻛﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ .
Menelan ludah tidak membatalkan puasa,
meskipun banyak atau sering dilakukan ketika
di masjid dan tempat-tempat lainnya. Akan
tetapi, jika berupa dahak yang kental maka
sebaiknya tidak ditelan, tetapi keluarkan
(diludahkan) di saputangan atau sejenisnya
(tissue) jika di masjid.[3]
Menelan Dahak ketika berpuasa
Adapun menelan dahak, maka diperselisihkan
dan yang terkuat adalah TIDAK membatalkan
puasa.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utasimin
rahimahullah berkata,
ﺍﻟﺒﻠﻐﻢ ﺃﻭ ﺍﻟﻨﺨﺎﻣﺔ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﺗﺼﻞ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻔﻢ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻻ ﺗﻔﻄﺮ،
ﻗﻮﻻً ﻭﺍﺣﺪﺍً ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ، ﻓﺈﻥ ﻭﺻﻠﺖ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻔﻢ ﺛﻢ
ﺍﺑﺘﻠﻌﻬﺎ ﻓﻔﻴﻪ ﻗﻮﻻﻥ ﻷﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ :
ﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ : ﺇﻧﻬﺎ ﺗﻔﻄﺮ، ﺇﻟﺤﺎﻗﺎً ﻟﻬﺎ ﺑﺎﻷﻛﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﺏ
ﻭﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ : ﻻ ﺗﻔﻄﺮ، ﺇﻟﺤﺎﻗﺎً ﻟﻬﺎ ﺑﺎﻟﺮﻳﻖ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺮﻳﻖ
ﻻ ﻳﺒﻄﻞ ﺑﻪ ﺍﻟﺼﻮﻡ، ﺣﺘﻰ ﻟﻮ ﺟﻤﻊ ﺭﻳﻘﻪ ﻭﺑﻠﻌﻪ، ﻓﺈﻥ
ﺻﻮﻣﻪ ﻻ ﻳﻔﺴﺪ .
ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺧﺘﻠﻒ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻓﺎﻟﻤﺮﺟﻊ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ، ﻭﺇﺫﺍ
ﺷﻜﻜﻨﺎ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻷﻣﺮ ﻫﻞ ﻳﻔﺴﺪ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﺃﻭ ﻻ ﻳﻔﺴﺪﻫﺎ؟
ﻓﺎﻷﺻﻞ ﻋﺪﻡ ﺍﻹﻓﺴﺎﺩ ﻭﺑﻨﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻳﻜﻮﻥ ﺑﻠﻊ
ﺍﻟﻨﺨﺎﻣﺔ ﻻ ﻳﻔﻄﺮ .
ﻭﺍﻟﻤﻬﻢ ﺃﻥ ﻳﺪﻉ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺍﻟﻨﺨﺎﻣﺔ ﻭﻻ ﻳﺤﺎﻭﻝ ﺃﻥ ﻳﺠﺬﺑﻬﺎ
ﺇﻟﻰ ﻓﻤﻪ ﻣﻦ ﺃﺳﻔﻞ ﺣﻠﻘﻪ، ﻭﻟﻜﻦ ﺇﺫﺍ ﺧﺮﺟﺖ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻔﻢ
ﻓﻠﻴﺨﺮﺟﻬﺎ، ﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﺻﺎﺋﻤﺎً ﺃﻡ ﻏﻴﺮ ﺻﺎﺋﻢ، ﺃﻣﺎ
ﺍﻟﺘﻔﻄﻴﺮ ﻓﻴﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻰ ﺩﻟﻴﻞ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﺠﺔ ﻟﻺﻧﺴﺎﻥ ﺃﻣﺎﻡ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻓﻲ ﺇﻓﺴﺎﺩ ﺍﻟﺼﻮﻡ .
Menelan dadak, jika belum sampai ke mulut
maka tidak membatalkan puasa. Ulama
madzhab hambali sepakat dalam hal ini.
Namun jika sudah sampai ke mulut, kemudian
dia telan, dalam hal ini ada dua pendapat
ulama.
Pertama: Itu membatalkan puasa, karena
disamakan dengan makan dan minum.
Kedua: Tidak membatalkan puasa, karena
disamakan dengan ludah. Karena ludah tidak
membatalkan puasa. Bahkan andaikan ada
orang yang mengumpulkan ludahnya kemudian
dia telan maka puasanya tidak batal.
Sikap yang tepat, ketika terjadi perselisihan
ulama, kembalikan kepada al-Quran dan
sunnah. Jika kita ragu dalam suatu hal, apakah
termasuk pembatal ibadah ataukah tidak,
hukum asalnya adalah tidak membatalkan
ibadah. Berdasarkan hal ini, menelan dahak
tidak membatalkan puasa.
Yang terpenting, hendaknya seseorang tidak
menelan dahak dan tidak berusaha
mengeluarkannya dari mulutnya ketika berada
di tenggorokan. Namun jika sudah sampai
mulut, hendaknya dia membuangnya. Baik
ketika sedang puasa atau tidak lagi puasa.
Adapun, keterangan ini bisa membatalkan
puasa, maka keterangan ini butuh dalil.
Sehingga bisa menjadi pegangan seseorang di
hadapan Allah bahwa ini termasuk pembatal
puasa.[4]
demikian semoga bermanfaat
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
[1] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzzab 6/317,
syamilah
[2] Al-Mughni 3/16
[3] Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah no. 9584,
syamilah
[4] Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, Volume 17,
no. 723

Puasa Tetapi Tidak Berjilbab

KAPAN LAGI SAUDARIKU!!!
Puasa Tetapi Tidak Berjilbab

4 August 2011, 3:00 pm
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Kita telah mengetahui bersama mengenakan
jilbab adalah suatu hal yang wajib.
Sebagaimana kewajibannya telah disebutkan
dalam Al Qur’an dan hadits sebagai pedoman
hidup kita. Namun kenyataaan di tengah-
tengah kita, masih banyak yang belum sadar
akan jilbab termasuk pada bulan Ramadhan.
Tulisan ini akan menjelaskan bagaimanakah
status puasa wanita yang tidak berjilbab.
Semoga bermanfaat.
Kewajiban Mengenakan Jilbab
Allah Ta’ala berfirman,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻗُﻞْ ﻟِﺄَﺯْﻭَﺍﺟِﻚَ ﻭَﺑَﻨَﺎﺗِﻚَ ﻭَﻧِﺴَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ
ﻳُﺪْﻧِﻴﻦَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﻣِﻦْ ﺟَﻠَﺎﺑِﻴﺒِﻬِﻦَّ ﺫَﻟِﻚَ ﺃَﺩْﻧَﻰ ﺃَﻥْ ﻳُﻌْﺮَﻓْﻦَ ﻓَﻠَﺎ
ﻳُﺆْﺫَﻳْﻦَ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻏَﻔُﻮﺭًﺍ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka”. Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayan g.” (QS. Al
Ahzab: 59).
Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab
adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah
memakai khimar. Sedangkan khimar adalah
penutup kepala.
Allah Ta’ala juga berfirman,
ﻭَﻗُﻞْ ﻟِﻠْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﻳَﻐْﻀُﻀْﻦَ ﻣِﻦْ ﺃَﺑْﺼَﺎﺭِﻫِﻦَّ ﻭَﻳَﺤْﻔَﻈْﻦَ
ﻓُﺮُﻭﺟَﻬُﻦَّ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺒْﺪِﻳﻦَ ﺯِﻳﻨَﺘَﻬُﻦَّ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﻇَﻬَﺮَ ﻣِﻨْﻬَﺎ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya .” (QS. An Nuur
[24] : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas,
Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul
Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan
adalah wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah , Amru Abdul
Mun’im, hal. 14).
Orang yang tidak menutupi auratnya artinya
tidak mengenakan jilbab diancam dalam hadits
berikut ini. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺻِﻨْﻔَﺎﻥِ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻟَﻢْ ﺃَﺭَﻫُﻤَﺎ ﻗَﻮْﻡٌ ﻣَﻌَﻬُﻢْ ﺳِﻴَﺎﻁٌ
ﻛَﺄَﺫْﻧَﺎﺏِ ﺍﻟْﺒَﻘَﺮِ ﻳَﻀْﺮِﺑُﻮﻥَ ﺑِﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻭَﻧِﺴَﺎﺀٌ ﻛَﺎﺳِﻴَﺎﺕٌ
ﻋَﺎﺭِﻳَﺎﺕٌ ﻣُﻤِﻴﻼَﺕٌ ﻣَﺎﺋِﻼَﺕٌ ﺭُﺀُﻭﺳُﻬُﻦَّ ﻛَﺄَﺳْﻨِﻤَﺔِ ﺍﻟْﺒُﺨْﺖِ
ﺍﻟْﻤَﺎﺋِﻠَﺔِ ﻻَ ﻳَﺪْﺧُﻠْﻦَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﻭَﻻَ ﻳَﺠِﺪْﻥَ ﺭِﻳﺤَﻬَﺎ ﻭَﺇِﻥَّ ﺭِﻳﺤَﻬَﺎ
ﻟَﻴُﻮﺟَﺪُ ﻣِﻦْ ﻣَﺴِﻴﺮَﺓِ ﻛَﺬَﺍ ﻭَﻛَﺬَﺍ
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang
belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang
memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk
memukul manusia dan [2] para wanita yang
berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok,
kepala mereka seperti punuk unta yang miring.
Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan
tidak akan mencium baunya, walaupun baunya
tercium selama perjalanan sekian dan
sekian.” (HR. Muslim no. 2128).
Di antara makna wanita yang berpakaian tetapi
telanjang dalam hadits ini adalah: (1) Wanita
yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya,
sengaja menampakkan keindahan tubuhnya.
Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian
tetapi telanjang; (2) Wanita yang memakai
pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam
tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun
sebenarnya telanjang ( Al Minhaj Syarh Shahih
Muslim, 17: 190-191).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa
wajibnya wanita mengenakan jilbab dan
ancaman bagi yang membuka-buka auratnya.
Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali
wajah dan telapak tangan. Bahkan dapat
disimpulkan bahwa berpakaian tetapi telanjang
alias tidak mengenakan jilbab termasuk dosa
besar. Karena dalam hadits mendapat
ancaman yang berat yaitu tidak akan mencium
bau surga. Na’udzu billahi min dzalik .
Puasa Harus Meninggalkan Maksiat
Setelah kita tahu bahwa tidak mengenakan
jilbab adalah suatu dosa atau suatu maksiat,
bahkan mendapat ancaman yang berat, maka
keadaan tidak berjilbab tidak disangsikan lagi
akan membahayakan keadaan orang yang
berpuasa. Kita tahu bersama bahwa maksiat
akan mengurangi pahala orang yang berpuasa,
walaupun status puasanya sah. Yang bisa jadi
didapat adalah rasa lapar dan haus saja,
pahala tidak diperoleh atau berkurang karena
maksiat. Bahkan Allah sendiri tidak peduli akan
lapar dan haus yang ia tahan. Kita dapat
melihat dari dalil-dalil berikut:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﺪَﻉْ ﻗَﻮْﻝَ ﺍﻟﺰُّﻭﺭِ ﻭَﺍﻟْﻌَﻤَﻞَ ﺑِﻪِ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻟِﻠَّﻪِ ﺣَﺎﺟَﺔٌ
ﻓِﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﺪَﻉَ ﻃَﻌَﺎﻣَﻪُ ﻭَﺷَﺮَﺍﺑَﻪُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan
perkataan dusta malah mengamalkannya,
maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan
haus yang dia tahan. ” (HR. Bukhari no. 1903).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
ﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ ﻣِﻦَ ﺍﻷَﻛْﻞِ ﻭَﺍﻟﺸَّﺮَﺏِ ، ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ ﻣِﻦَ
ﺍﻟﻠَّﻐْﻮِ ﻭَﺍﻟﺮَّﻓَﺚِ ، ﻓَﺈِﻥْ ﺳَﺎﺑَّﻚَ ﺃَﺣَﺪٌ ﺃَﻭْ ﺟَﻬُﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ
ﻓَﻠْﺘَﻘُﻞْ : ﺇِﻧِّﻲ ﺻَﺎﺋِﻢٌ ، ﺇِﻧِّﻲ ﺻَﺎﺋِﻢٌ
“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan
minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan
menahan diri dari perkataan sia-sia dan kata-
kata kotor. Apabila ada seseorang yang
mencelamu atau berbuat usil padamu,
katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku
sedang puasa”. (HR. Ibnu Khuzaimah 3: 242.
Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits
tersebut shahih)
Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Seandainya engkau berpuasa maka hendaknya
pendengaran, penglihatan dan lisanmu turut
berpuasa, yaitu menahan diri dari dusta dan
segala perbuatan haram serta janganlah
engkau menyakiti tetanggamu. Bersikap tenang
dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah
kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak
berpuasamu sama saja.” ( Latho’if Al Ma’arif ,
277).
Mala ‘Ali Al Qori rahimahullah berkata, “Ketika
berpuasa begitu keras larangan untuk
bermaksiat. Orang yang berpuasa namun
melakukan maksiat sama halnya dengan orang
yang berhaji lalu bermaksiat, yaitu pahala
pokoknya tidak batal, hanya kesempurnaan
pahala yang tidak ia peroleh. Orang yang
berpuasa namun bermaksiat akan
mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa
karena maksiat yang ia lakukan.” ( Mirqotul
Mafatih Syarh Misykatul Mashobih , 6: 308).
Al Baydhowi rahimahullah mengatakan,
“Ibadah puasa bukanlah hanya menahan diri
dari lapar dan dahaga saja. Bahkan seseorang
yang menjalankan puasa hendaklah mengekang
berbagai syahwat dan mengajak jiwa pada
kebaikan. Jika tidak demikian, sungguh Allah
tidak akan melihat amalannya, dalam artian
tidak akan menerimanya.” ( Fathul Bari, 4: 117).
Penjelasan di atas menunjukkan sia-sianya
puasa orang yang bermaksiat, termasuk dalam
hal ini adalah wanita yang tidak berjilbab
ketika puasa. Oleh karenanya, bulan puasa
semestinya bisa dijadikan moment untuk
memperbaiki diri. Bulan Ramadhan ini
seharusnya dimanfaatkan untuk menjadikan
diri menjadi lebih baik. Pelan-pelan di bulan ini
bisa dilatih untuk berjilbab. Ingatlah
sebagaimana kata ulama salaf, “Tanda
diterimanya suatu amalan adalah kebaikan
membuahkan kebaikan.”
Belum Mau Berjilbab
Beralasan belum siap berjilbab karena yang
penting hatinya dulu diperbaiki?
Kami jawab, “Hati juga mesti baik. Lahiriyah
pun demikian. Karena iman itu mencakup
amalan hati, perkataan dan perbuatan. Hanya
pemahaman keliru dari aliran Murji’ah yang
menganggap iman itu cukup dengan amalan
hati ditambah perkataan lisan tanpa mesti
ditambah amalan lahiriyah. Iman butuh
realisasi dalam tindakan dan amalan”
Beralasan belum siap berjilbab karena
mengenakannya begitu gerah dan panas?
Kami jawab, “Lebih mending mana, panas di
dunia karena melakukan ketaatan ataukah
panas di neraka karena durhaka?” Coba
direnungkan!
Beralasan belum siap berjilbab karena banyak
orang yang berjilbab malah suka menggunjing?
Kami jawab, “Ingat tidak bisa kita pukul rata
bahwa setiap orang yang berjilbab seperti itu.
Itu paling hanya segelintir orang yang demikian,
namun tidak semua. Sehingga tidak bisa kita
sebut setiap wanita yang berjilbab suka
menggunjing.”
Beralasan lagi karena saat ini belum siap
berjilbab?
Kami jawab, “Jika tidak sekarang, lalu kapan
lagi? Apa tahun depan? Apa dua tahun lagi?
Apa nanit jika sudah pipi keriput dan rambut
ubanan? Inilah was-was dari setan supaya kita
menunda amalan baik. Jika tidak sekarang ini,
mengapa mesti menunda berhijab besok dan
besok lagi? Dan kita tidak tahu besok kita
masih di dunia ini ataukah sudah di alam
barzakh, bahkan kita tidak tahu keadaan kita
sejam atau semenit mendatang. So … jangan
menunda-nunda beramal baik. Jangan
menunda-nunda untuk berjilbab.”
Perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma
berikut seharusnya menjadi renungan,
ﺇِﺫَﺍ ﺃَﻣْﺴَﻴْﺖَ ﻓَﻼَ ﺗَﻨْﺘَﻈِﺮِ ﺍﻟﺼَّﺒَﺎﺡَ ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺃَﺻْﺒَﺤْﺖَ ﻓَﻼَ
ﺗَﻨْﺘَﻈِﺮِ ﺍﻟْﻤَﺴَﺎﺀَ ، ﻭَﺧُﺬْ ﻣِﻦْ ﺻِﺤَّﺘِﻚَ ﻟِﻤَﺮَﺿِﻚَ ، ﻭَﻣِﻦْ
ﺣَﻴَﺎﺗِﻚَ ﻟِﻤَﻮْﺗِﻚَ
“Jika engkau berada di waktu sore, maka
janganlah menunggu pagi. Jika engkau berada
di waktu pagi, janganlah menunggu waktu
sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum
datang sakitmu dan manfaatkanlah hidupmu
sebelum datang matimu .” (HR. Bukhari no.
6416).
Hadits ini menunjukkan dorongan untuk
menjadikan kematian seperti berada di
hadapan kita sehingga bayangan tersebut
menjadikan kita bersiap-siap dengan amalan
sholeh. Juga sikap ini menjadikan kita sedikit
dalam berpanjang angan-angan. Demikian kata
Ibnu Baththol ketika menjelaskan hadits di
atas.
Moga di bulan penuh barokah ini, kita diberi
taufik oleh Allah untuk semakin taat pada-
Nya. Wallahu waliyyut taufiq.
Panggang-Gunung Kidul, 4 Ramadhan 1432 H
(04/08/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim
Pimpinan Redaksi Muslim.Or.Id dan Pengasuh
Rumaysho.Com.
Alumni Ma'had Al Ilmi
Yogyakarta (2003-2005). S1 Teknik Kimia
UGM (2002-2007). S2 Chemical Engineering
(Spesialis Polymer Engineering), King Saud
University, Riyadh, KSA (2010-2013). Murid
Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al
Fauzan, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy
Syatsriy, Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir Al
Barrak, Syaikh Sholih bin 'Abdullah bin Hamad
Al 'Ushoimi dan ulama lainnya. Penulis di
Majalah Kesehatan Muslim dan Pengusaha
Muslim. Situs lain yang diasuh:
RemajaIslam.Com, Ruwaifi.Com,

8 Manfaat Puasa

Kusnandar Putra
Ustadz Dzulqarnain: 8 Manfaat Puasa
(Transkrip Streaming)

1. Puasa akan memperkuat kekuatan dalam ibadah. Dengan puasa akan menimbulkan kecintaan kepada ibadah. Makanya senantiasa kita melihat orang membaca al-Quran di bulan romadhon ini dan berbeda dengan bulan yang lain, kita jarang melihat pemandangan seperti ini. Olehnya itu, istiqomah itu penting di bulan ini. Karena itulah, sebagian ulama berkata, "Sejelek-jelek orang adalah orang yang tidak mengenal Alloh, kecuali di romadhon saja."
2. Puasa itu menyejukkan hati, melembutkan hati. Berbeda di luar romadhon. Ketika seseorang puasa, ia merasa lapar, sehingga ia senang membantu kepada fakir miskin karena turut merasakan lapar.
3. Di dalam puasa terdapat pendidikan dalam jiwa. Karena seseorang yang puasa, ia akan mendidik dirinya akan kapan waktu makan, berbuka, sahur dan menahan. Di waktu sahur, semua makan. Di waktu menanahan, semua menahan. Ini merupakan kebiasaan untuk tertib, sehingga di luar romadhon kita bisa mendidik jiwa dengan baik.
4. Di dalam puasa ada pendidikan untuk sabar. Apalagi panas, ia akan bersabar. Ini sangat penting dari pendidikan puasa.
5. Pada puasa terdapat ketenangan untuk jiwa dan badan. Dari jiwa untuk kebaikan. Disebutkan beberapa ulama, "Penyakit itu berasal dari hati yang terganggu." Dan dari sisi kedokteran, dibuktikan hal tersebut, (bahwa dengan puasa ada kesehatan badan). Sebagaimana berwudhu, ada penjagaan (kebersihan) badan. Ini menunjukkan bahwa Islam perhatian akan hal tersebut.
6. Seorang puasa akan merasakan keadilan dalam puasa. Karena dalam puasa, tidak ada perbedaan kaya dan miskin, mana yang dipimpin maupun pemimpin. Semua bersatu dalam kondisi menahan. Hal ini untuk merasakan kebersamaan.
7. Di dalam puasa ada etika dalam adab. Bagaimana seorang muslim mejaga lisan, tidak mencela, tidak makan, tidak melakukan hubungan suami istri. Ini semua pendidkan dalam jiwa.
8. Melatih untuk menguatkan persaudaraan, sehingga seorang muslim lebih mendahulukan saudaranya. Di bulan romadhon ada kebersamaan, saling memberi buka puasa." Semoga Alloh memberi taufik kepada kita
semua....[] (Disadur secara makna, tausiyah al-Ustadz Dzulqarnain -hafizhohulloh- via Syiar Tauhid)
--Bontote'ne, 2 Romadhon 1435

Copyright @ 2013 IRMANAH.